Senin, 14 November 2011

AL-GAZALI DAN IBN RUSYD
oleh:Fadlan Hilmie S.Hum

2.1               Biografi al-Gazali
Al-Gazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’I Al-Ghazali, dikenal dengan sebutan Al-Gazali. Lahir di Thusi, pada tahun 450 H atau 1058 M. Al-Gazali merupakan anak seorang pemintal kain wol miskin yang taat, menyenangi ulama, dan aktif menghadiri majlis-majlis pengajian. Selain Al-Gazali, ayahnya ini juga memilki anak laki-laki lain bernama Ahmad. Ayah Al-Gazali memiliki keinginan agar anaknya tidak mejadi orang sepertinya. Dia berharap agar anaknya bisa membaca dan menulis dan mempelajari ilmu agama dengan baik. Oleh karena itu menjelang wafat dia menitipkan anaknya kepada seorang sufi. Ia menitipkan sedikit harta kepada seorang sufi itu. Sufi itu mengajari Al-Gazali dan saudaranya sampai harta pemberian ayahnya habis. sufi itu tidak mampu lagi memberi makan keduanya.selanjutnya sufi itu menyerahkan kedua anaknya untuk belajar pada pengelola sebuah madrasah sekaligus untuk menyambung hidup mereka.
Dimulailah perjalanan hidup mencari ilmu di kala ia masih kecil. Gazali belajar agama di kota Naisabur, dia tidak hanya belajar dari Al-juwaini, tetapi juga mempergunakan waktunya untuk belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj. Kemudian ia melakukan latihan dan praktek tasawuf sekalipun hal itu belum mendatangkan pengaruh yang berarti dalam langkah hidupnya. Ilmu-ilmu yang didapatnya dari Juwaini benar-benar dikuasai dengan baik oleh Al-Gazali. Al-Gazali pun mampu mengeluarkan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya. Hal ini membuat Juwaini menjulukinya dengan sebutan “Bahr Mu’riq” (lautan yang menghanyutkan). Berkat kecerdasan yang dia milikilah membuat nama Al-Gazali termansyhur di kawasan kerajaan Saljuk. kemasyhuran itu menyebabkannya dipilih oleh Nizham Al-Muluk untuk menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyah Baghdad, pada tahun 482 H / 1090 M. meskipun usianya baru 30 tahun. Selain mengajar di Nizhamiyah, ia juga aktif mengadakan perdebatan dengan golongan-golongan yang berkembang pada saat itu.
            Al-Gazali merupakan seorang pemikir Islam yang popular. Dia berhasil menciptakan lebih dari 50 karya berbentuk buku. Buku-buku ini terdiri dari bidang teologi Islam (ilmu kalam), hukum Islam (fiqh), tasawuf, akhlak dan adab kesopanan, kemudian autobiografi. Sebagian besar dari buku-buku itu berbahasa Arab, dan yang lain ditulis dengan bahasa Parsi. Kitabnya yang terbesar ialah Ihya ‘Ulumuddin, artinya “menghidupkan ilmu-ilmu agama”, yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Syam, Yerusalem, Hijaz, dan Thus. Buku ini berisi panduan yang dikenal di kalangan kaum muslimin maupun di dunia Barat dan di luar Islam. Bukunya yang lain ialah Al-Munqidz min Adh-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan), yang berisi tentang sejarah perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan. Dan karya Al-Gazali yang paling monumental adalah buku Tahafut Al-Falasifah, dalam bukunya ini Al-Gazali mengkritik pendapat para filsuf. Buku inilah yang kemudian dibantah atau dibuat tandingannya oleh Ibn Ruysd.[1]
           
2.2              Pemikiran Al-Gazali
Awalnya Al-Gazali dikenal sebagai orang yang ragu. Dia meragukan segala sesuatu. Hal ini terjadi setelah dia mempelajari ilmu kalam yang diajarkan oleh gurunya Juwaini. Ilmu kalam yang dia dapat terdapat perbedaan dan banyak versi. Hal ini membuat Al-Gazali berfikir ilmu mana yang paling sesuai kebenarannya. Mula-mula Al-Ghazali mendalami pemikiran kaum mutakallimin dengan segala macam alirannya. Kemudian ia melihat betapa perbedaan-perbedaan itu terjadi karena mereka berlainan dari segi mereka masing-masing memandang soalnya. Al-Ghazali tidak puas dengan dalil-dalil mutakallimin saja. Lalu ia mendalami filsafat. Ia mempelajari karangan-karangan ahli filsafat, terutama karangan Ibnu Sina. Setelah dipelajarinya filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Karena tidak puas dengan hasil-hasil filsafat itu, Al-Ghazali menyelidiki pula pendapat-pendapat aliran batiniyah. Penganut aliran ini berpendirian bahwa ilmu yang sejati atau kebenaran yang mutlak itu hanya dapat diturunkan dari “imam yang ma’shum”, yang suci dari kesalahan dan dosa. Al-Ghazali menanyakan imam yang ma’shum itu. Tidak ada pengikut batiniah yang tahu di mana tempatnya dan kapan ia bisa ditemui. Al-Ghazali akhirnya menyimpulkan bahwa imam ma’shum kaum batiniah itu hanyalah tokoh yang ideal saja, hanya ada dalam anggapan, dan tidak ada dalam alam kenyataan.
Oleh karena belum puas dengan ketiga macam penyelidikan itu, Al-Ghazali lalu meninggalkan kesibukan-kesibukan keduniaan dan mulai mengikuti aliran tasawuf. Ia mengharapkan dalam gerakan tasawuf inilah ia mendapat hakikat kebenaran yang dicari dan diselidikinya selama ini. Ia menghadapkan seluruh hati dan kemauannya hanya kepada Tuhan semata-mata, dan menganggap sepi dunia dengan segala godaannya.
Akhirnya ia merasa berhasil. Ia merasa dengan cara ini pikirannya menjadi sangat jernih, dan dengan tasawuf, ia merasa dibukakan oleh Tuhan sesuatu pengetahuan ajaib yang belum pernah dialami sebelumnya. Pengetahuan itu dianggapnya sebagai rahasia hakikat kebenaran yang dicarinya selama ini.
Kemudian dari sinilah Al-Gazali menjadi salah satu tokoh yang bertentangan dengan para filsuf. Hal itu terlihat dalam bukunya yang berjudul Tahafut Al-Falasifah. Dalam bukunya ini Al-Gazali mencoba mengkrtitik pendapat para filsuf. Dalam buku ini terdapat dua puluh tema penting yang dibicarakan oleh Al-Gazali, yaitu;
1.      Penolakan terhadap keyakinan para filsuf akan eternalitas (azaliyah) alam
2.      Penolakan terhadap keyakinan para filsuf akan keabadian (abadiyyah) alam
3.      Pernyataan para filsuf yang tidak fair bahwa Tuhan adalah pencipta alam, dan bahwa alam itu adalah produk ciptaan-Nya
4.      Ketidakmampuan para filsuf untuk mengafirmasi (tadlil) sang Pencipta
5.      Ketidakmampuan para filsuf untuk membuktikan imposibilitas adanya dua Tuhan melalui argumentasi rasional
6.      Penolakan terhadap keyakinan para filsuf tentang penafian sifat-sifat Tuhan
7.      Penolakan terhadap teori para filsuf bahwa zat Tuhan tidak bisa dibagi kedalam genus (jins) dan diferensi (fashl)
8.      Penolakan terhadap teori para filsuf bahwa prinsip yang pertama (The First Principle) adalah suatu sederhana yang total (basith bi la mahiyah)
9.      Ketidakmampuan para filsuf untuk menunjukkan bahwa prinsip yang pertama adalah bukan benda (jism)
10.  Penjelasan bahwa pandangan tentang masa dan penafian Pencipta lazim bagi para filsuf
11.  Ketidakmampuan para filsuf untuk menyatakan bahwa prinsip yang pertama mengetahui selain diri-Nya (ya’lam ghyrahu)
12.  Ketidakmampuan para filsuf untuk menyatakan bahwa Dia mengetahui diri-Nya sendiri ( ya’lam dzatahu)
13.  Penolakan terhadap ajaran para filsuf bahwa prinsip yang pertama tidak mengetahui  hal-hal pratikular (juz’iyyat)
14.  Penolakan terhadap pandangan para filsuf bahwa langit merupakan mahluk hidup  yang gerakan-gerakannya disengaja (bi al-iradah)
15.  Penolakan terhadap ajaran para filsuf tentang tujuan gerakan langit
16.  Penolakan terhadap pandangan para filsuf bahwa jiwa-jiwa langit mengetahui seluruh hal-hal partikular
17.  Penolakan terhadap kenyakinan para filsuf akan kemustahilan terjadinya hal-hal luar biasa (kharq al-adah)
18.  Penolakan terhadap kenyakinan para filsuf bahwa jiwa manusia adalah subtansi yang eksis dengan sendirinya, dan bukan benda (jism) ataupun aksiden (‘aradh)
19.  Penolakan terhadap keyakinan para filsuf akan kemustahilan fananya jiwa-jiwa manusia
20.  Penolakan terhadap pengingkaran para filsuf akan kebangkitan jasmani yang akan diikuti perasaan senang dan sakit di surga dan neraka, dengan kesenangan dan rasa sakit secara fisik[2]

Tiga dari keduapuluh tema di atas, menurut Al-Ghazali membawa kepada kekufuran, yaitu:
  1. Alam kekal dalam arti tak bermula
  2. Tuhan tak mengetahui perincin dari apa-apa yang terjadi di alam. 
  3.  Pembangkitan jasmani tak ada.

Penjelasannya sebagai berikut. Menurut Bagi Al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim, mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadim-nya alam membawa kepada simpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan Tuhan. Dan, ini berarti bertentangan dengan ajaran Alquran yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya). Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam, alam ada di samping adanya Tuhan. Sebaliknya, bagi para filsuf Muslim, paham bahwa alam itu qadim sedikit pun tidak dipahami mereka sebagai alam yang ada dengan sendirinya. Menurut mereka, alam itu qadim justru karena Tuhan menciptakannya sejak azali qadim. Bagi mereka, mustahil Tuhan ada sendiri tanpa mencipta pada awalnya, kemudian baru menciptakan alam. Penjelasan yang kedua, menurut Al-Gazali mana mungkin Tuhan tidak mengetahui hal-hal kecil yang ada di dunia ini. Alam beserta isinya merupakan ciptaanya, jadi mana mungkin Tuhan tidak tahu apa-apa yang telah Ia ciptakan. Penjelasan ketiga, menurut Al-Gazali sebagai seoarang muslim seharusnya kita mengimani tentang pembangkitan jasmani. Agama telah mengajarkan bahwa pada saat kebangkitan nanti jiwa kita akan dikembalikan kedalam tubuh. Berarti mana mungkin tidak adanya kebangkitan jasmani, padahal sudah jelas hal tersebut dalam agama Islam. Jadi menurut Al-Gazali orang-orang yang tidak mengimani kebangkitan jasmani sama saja mereka bukanlah seorang muslim.[3]

2.3              Biografi Ibn Ruysd
Ibn Ruyd bernama lengkap Abu Al-Walid Muhammmad bin Ahmad bin Rusyd. Di Eropa ia lebih dikenal dengan sebutan Avveroes. Ia lahir dan dibesarkan di keluarga yang ahli fiqih. Ayahnya seorang hakim, demikian juga kakeknya yang sangat terkenal sebagai ahli fiqih. Keluarganya ini dikenal sebagai keluarga yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Ibn Ruysd belajar ilmu fiqih, ilmu pasti dan ilmu kedokteran di Sevilla kemudian berhenti dan kembali ke Cordova untuk melakukan penelitian, membaca buku-buku, dan menulis. Sejak usia remaja hingga dewasa, Ibn Ruysd memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan, dia tidak pernah berhenti belajar semenjak dai mampu untuk berfikir. Lebih dari 10.000 lembar kertas ia habiskan untuk mencatat, meringkas buku-buku yang dibacanya dan menulis makalah-makalah yang dikarangnya. Beliau sangat tertarik pada berbagai ilmu pengetahuan kuno. Sebagai qadi al-qudaad, ia dekat dengan para amir (penguasa) Dinasti Al Muwahhidun yang memerintah saat itu, khususnya dengan Abu Yusuf Yakqub al Mansur, amir dinasti ketiga Muwahhidun.
Ibn Ruysd dikenal sebagai seorang tokoh yang menghargai Aristoteles setinggi langit. Namun dalam penyusunan rumus kesimpulannnya Ibn Rusyd tidak terikat pada rumusan aristoteles. Ia mengumukakan pendapat-pendapat atau pahamnya sediri, sekali pun dalam hal itu dia tetap mengikuti jejak guru pertama (Aristoteles). Pada awalnya Ibn Ruysd dikenal sebagai seorang ahli fiqih. Di bidang ilmu fiqih ia berhasil meninggalkan warisan berupa buku yang berjudul Bidayatul-Mujtahid wa Nihayatul-Muqthasid, dilihat dari bukunya ini Ibn Rusyd terlihat memilki pemikiran tersendiri dibidang ilmu fiqih, sama halnya di bidang filsafat dimana dia juga mempunyai pandangan dan aliran tersendiri. Ibn Rusyd juga menulis buku tentang penyesuaian anatar agama dan filsafat. Diantaranya adalah Kasyfu An Manahijil Adillah (Ungkapan tentang Metode Pembuktian) dan Fashlul-Maqal Fima Bainal-Hikmah Wasyf-Syariah Minal-Ittishal (Kata putus tentang Kaitan Antara Filsafat dan Syariat).Sedangkan pemikiran filsafatnya dapat diketahui melalui bukunya yang sangat terkenal, Tahafut At-Tahafut yang ditulis sebagai sanggahan terhadap buku Al-Gazali Tahafut al-Falasifah.[4]
Pada akhir hidupnya Ibn Ruysd mengalami cobaan yang berat. Para ahli fiqh yang bekerja di Istana Khalifah memfitnahnya hingga Khalifah marah dan membuangnya ke Alesana, sebuah kota dekat Cordova. Setelah bebas dari pembuangan ia pindah ke Maroko, sampai wafat pada tahun 595 H.


2.4              Pemikiran Ibn Ruysd
Aliran filsafat Ibn Ruysd adalah rasional. Ia menjunjung tinggi dan menghargai peranan akal, karena dengan akal fikiran itulah manusia dapat menafsirkan alam wujud. Ibn Ruysd adalah seorang filsuf muslim yang menggunakan akal dan pemikiran logis untuk menemukan suatu kebenaran. Filsafat yang digunakan oleh Ibn Ruysd merupakan aktualisasi filsafat Aristoteles. Yaitu pendekatan sifat rasional dan dialektikis dengan menggunakan wahyu. Dalam bukunya Fashl al-Maqal, Ibn Ruysd menjelaskan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan wahyu. Bahkan filsafat dibutuhkan untuk memahami makna tersembunyi dalam setiap ayat-ayat Al-quran, yaitu dengan menggunakan al-itibar. Al-itibar adalah keraguan yang awalnya terjadi, dari keraguan itu kemudian kita menyelami secara mendalam menuju kepastian atau sesutau yang dianggap benar. Mendalami untuk kemudian muncul dengan pengalaman dan pengetahuan yang baru.
Terlihat dari sini bahwa Ibn Ruysd merupakan seorang filsuf yang tidak menjadikan dogma atau agama sebagai sesuatu yang kaku dan tidak boleh di “sentuh”. Namun Ibn Ruysd menjadikannya sebagai sebuah petunjuk yang terdiri dari symbol-simbol yang harus dicari mengenai maksud dan makna yang terkandung dalam setiap ayatnya. Bagi Ibn Ruysad antara akal dan wahyu dapat berjalan untuk salingg melengkapi, karena wahyu danya dapat ditangkap menggunakan akal dan akal akan mecapai pencerahan dengan menggunakan wahu. Hal ini dijelaskan oleh Ibn Ruysd dalam bukunya Fashl al-Maqal.
Ibn Ruysd dapat berpendapat bahwa akal dan wahyu bisa saling melengkapi hal tersebut didasari karena Ibn Ruysd merupakan seorang faqih. Ia memahami dan menguasai hokum syariat dan fiqih pemikiran Maliki sebagaimana yang ia tuangkan dalam bukunya Bidayat al-Mudjtahid.[5]

2.5              Al-Gazali VS Ibn Ruysd
Pada satu generasi Al-Gazali tampil dan mengkritik dengan dahsyat filsafat, khususnya Neoplatonisme al-Farabi dan Ibn Sina. Sekalipun Al-Gazali menolak filsafat, namun ia mempelajari dan menguasai filsafat secara dalam. Tujuan Al-Gazali mengktirik filsafat adalah karena ia membela dan menggiatkan kembali kajian keagamaan, terlihat dalam karya utamanya yang berjudul Ihya’’Ulum al-Din (Menghidupkan kembali ilmu-ilmu Agama). Selain itu dalam bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah (Kekacauan para Filsuf), Gazali mencoba mengkritik para filsuf karena terdorong oleh gejala berkecamuknya pikiran bebas waktu itu yang banyak membuat orang-orang meninggalkan ibadah. Dalam banyak hal Al-Gazali adalah penerus langsung peranaan Al-Asyari dengan metode yang ia pinjam dari kaum Mutazilah ini Al-Gazali berhasil mengkritik para filsuf. Semenjak itu pun dia diberi gelar “Hujjat al-Islam: (Argumentasi Islam). Meski Al-Gazali dengan sepenuhnya membela agam, tapi pembelaan itu dilakukan dengan memperkenalkan berbagai cara berpikir dan metode yang saat itu dirasakan sebagai heterodoks dan bid’ah, karena menyalahi tradisi pemikiran keagamaan yang dikenal. Penyelesaian yang ditawarkan Al-Gazali begitu memukau dunia intelektual Islam, Al-Gazali sedemikian detailnya member penyelesaian masalah-masalah keagamaan Islam, sehingga yang terjadi adalah dia bagaikan telah menciptakan sebuah “kamar” untuk Ummat yang walaupun sangat nyaman, tetapi kemudian mempunyai efek pemenjaraan kreatifitas pemikiran Islam. Sejak itu ummat Islam terkukung dalam sel nyaman Gazaliisme.
            Namun, tidak beberapa lama sepeninggalnya Al-Gazali, di ujung barat Dunia Islam, di Kota Cordova, Spanyol, muncul seorang yang dengan kemampuan intelektual luar biasa berusaha memecahkan sel Gazaliisme. Dialah Ibn Ruysd, seorang ahli Aristoteles yang terkahir, dan terbesar dalam Islam. dalam karyanya yang berjudul Tahafut al-Tahafut (Kekacauan Buku Kekacauan), dengan cerdik dan tendensius Ibn Ruysd memberikan balasan buku Al-Gazali yang mengkritik filsafat Ibn Sina.
            Ibn Ruysd berusaha menjawab kritikan Al-Gazali mengenai usaha Al-Gazali yang berusaha merobohkan dalil keharusan sebab musabab bagi segala sesuatu. Melalui bukunya Ibn Rusyd menjawab: ‘Mengingkari sebab musaba yang dapat dilihat dalam segala kenyataan adalah (sophisme) atau omong kosong”. Orang yang mengatakn hal tersebut mengingkari apa yang dikatakan dalam hatinya, atau mengikuti omong kosong untuk meragukan apa yang dihadapinya..” Ibn Ruysd kemudian membalikkan soal sebab-musabab kepada empat sebab pokok sebagaimana yang dikatakan Aristoteles, yaitu; Pertama, ‘Illah Maadiyyah (sebab musabab yang berkaitan dengan benda). Kedua, ‘Illah Shuwariyyah (sebab musabab dengan bentuk atau form). Ketiga, ‘Illah Fa’illah (sebab musaba yang berkaitan dengan dayaguna). Keempat, ‘Illah Gha’iyyah (sebab musabab yang berkaitan dengan tujuan). Menurut Ibn Ruysd meniadakan semuannya itu berarti meniadakan dan menolak ilmu pengetahuan.  Sebagai seorang yang berfikir rasional Ibn Rusyd menafsirkan agama pun dengan penafsiran yang rasional. Namun ia tetap berpegang pada sumber agama itu sendiri, yakni Al-quran. Dalam bukunya Fashlul-Maqal Bainal-Himah wasy-Syariah ia berpendapat, bahwa mengenal Sang Pencipta tidak mungkin berhasi kecuali dengan jalan melakukan pengamatan terhadap alam wujud yang diciptakan Allah, untuk membuktikan tentang adanya Sang Pencipta.
            Ibn Ruysd juga menyayangkan sikap Al-Gazali yang membawa permasalahan mengenai filsafat ini kepada kalangan awam, karena menurut Ibn Ruysd manusia itu terbagi dalam tiga kategori, yaitu:
         Ahl-khitab (kaum retoris)
         Ahl-jadal (kaum dialektis sopis)
         Ahl-burhan (kaum rasional-demonstratif)
Dari ketiga kaum ini yang memiliki kemampuan memahami filsafat adalah ahl-burhan, dan apabila Al-Gazali memberikan persoalan ini kepada semua golongan maka akan terjadi kekacauan penafsiran dan pendapat. Selain itu Al-Gazali juga memilki sebuah kelemahan dalam mengkritik karena Al-Gazali mempelajari mengenai filsafat bukan dari sumber primer, melainkan dia melakukan kritik melalui pemahaman yang terlah mengalami distorsi oleh para penerjemah maupun para penulis Islam. Selain itu kritikan yang dilontarkan oleh Al-Gazali juga tidak memilki landasan yang cukup kuat karena Al-Gazali tidak menguasai ilmu hadist. Dengan begitu Ibn Ruysd berhasil menyelamatkan filsafat dalam Islam yang nyaris mati dihantam pemikiran Al-Gazali.



[2]  Athif Iraqi dalam Misrawi (ed): Ibnu Rusyd Gerbang Pencerahan Timur Dan Barat. 2007. hlm 149
[3] Ibid., hal 159
[4] Ahmad, Fuad. 1993. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus. hlm 82-87.
[5] Ibnu Rusyd. 1970. Bidayatul Mujtahid. Jakarta: Bulan Bintang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar