AL-GAZALI DAN IBN RUSYD
oleh:Fadlan Hilmie S.Hum
2.1
Biografi al-Gazali
Al-Gazali bernama lengkap Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’I Al-Ghazali,
dikenal dengan sebutan Al-Gazali. Lahir di Thusi, pada tahun 450 H atau 1058 M.
Al-Gazali merupakan anak seorang pemintal kain wol miskin yang taat, menyenangi
ulama, dan aktif menghadiri majlis-majlis pengajian. Selain Al-Gazali, ayahnya
ini juga memilki anak laki-laki lain bernama Ahmad. Ayah Al-Gazali memiliki
keinginan agar anaknya tidak mejadi orang sepertinya. Dia berharap agar anaknya
bisa membaca dan menulis dan mempelajari ilmu agama dengan baik. Oleh karena
itu menjelang wafat dia menitipkan anaknya kepada seorang sufi. Ia menitipkan
sedikit harta kepada seorang sufi itu. Sufi itu mengajari Al-Gazali dan saudaranya
sampai harta pemberian ayahnya habis. sufi itu tidak mampu lagi memberi makan
keduanya.selanjutnya sufi itu menyerahkan kedua anaknya untuk belajar pada
pengelola sebuah madrasah sekaligus untuk menyambung hidup mereka.
Dimulailah perjalanan hidup mencari ilmu di kala ia masih kecil. Gazali
belajar agama di kota Naisabur, dia tidak hanya belajar dari Al-juwaini, tetapi
juga mempergunakan waktunya untuk belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf
An-Nasaj. Kemudian ia melakukan latihan dan praktek tasawuf sekalipun hal itu
belum mendatangkan pengaruh yang berarti dalam langkah hidupnya. Ilmu-ilmu yang
didapatnya dari Juwaini benar-benar dikuasai dengan baik oleh Al-Gazali.
Al-Gazali pun mampu mengeluarkan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya. Hal
ini membuat Juwaini menjulukinya dengan sebutan “Bahr Mu’riq” (lautan yang
menghanyutkan). Berkat kecerdasan yang dia milikilah membuat nama Al-Gazali termansyhur
di kawasan kerajaan Saljuk. kemasyhuran itu menyebabkannya dipilih oleh Nizham
Al-Muluk untuk menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyah Baghdad, pada tahun
482 H / 1090 M. meskipun usianya baru 30 tahun. Selain mengajar di Nizhamiyah,
ia juga aktif mengadakan perdebatan dengan golongan-golongan yang berkembang
pada saat itu.
Al-Gazali merupakan seorang pemikir
Islam yang popular. Dia berhasil menciptakan lebih dari 50 karya berbentuk
buku. Buku-buku ini terdiri dari bidang teologi Islam (ilmu kalam), hukum Islam
(fiqh), tasawuf, akhlak dan adab kesopanan, kemudian autobiografi.
Sebagian besar dari buku-buku itu berbahasa Arab, dan yang lain ditulis dengan
bahasa Parsi. Kitabnya yang terbesar ialah Ihya ‘Ulumuddin, artinya
“menghidupkan ilmu-ilmu agama”, yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam
keadaan berpindah-pindah antara Syam, Yerusalem, Hijaz, dan Thus. Buku ini
berisi panduan yang dikenal di kalangan kaum muslimin maupun di dunia Barat dan
di luar Islam. Bukunya yang lain ialah Al-Munqidz min Adh-Dhalal (Penyelamat
dari Kesesatan), yang berisi tentang sejarah perkembangan alam pikirannya dan
mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu, serta jalan
untuk mencapai Tuhan. Dan karya Al-Gazali yang paling monumental adalah buku
Tahafut Al-Falasifah, dalam bukunya ini Al-Gazali mengkritik pendapat para
filsuf. Buku inilah yang kemudian dibantah atau dibuat tandingannya oleh Ibn
Ruysd.[1]
2.2
Pemikiran Al-Gazali
Awalnya Al-Gazali dikenal sebagai orang yang ragu. Dia
meragukan segala sesuatu. Hal ini terjadi setelah dia mempelajari ilmu kalam
yang diajarkan oleh gurunya Juwaini. Ilmu kalam yang dia dapat terdapat
perbedaan dan banyak versi. Hal ini membuat Al-Gazali berfikir ilmu mana yang
paling sesuai kebenarannya. Mula-mula Al-Ghazali mendalami pemikiran kaum mutakallimin
dengan segala macam alirannya. Kemudian ia melihat betapa perbedaan-perbedaan
itu terjadi karena mereka berlainan dari segi mereka masing-masing memandang
soalnya. Al-Ghazali tidak puas dengan dalil-dalil mutakallimin saja.
Lalu ia mendalami filsafat. Ia mempelajari karangan-karangan ahli filsafat,
terutama karangan Ibnu Sina. Setelah dipelajarinya filsafat dengan seksama, ia
mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan
adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Karena tidak puas dengan hasil-hasil filsafat itu, Al-Ghazali menyelidiki
pula pendapat-pendapat aliran batiniyah. Penganut aliran ini
berpendirian bahwa ilmu yang sejati atau kebenaran yang mutlak itu hanya dapat
diturunkan dari “imam yang ma’shum”, yang suci dari kesalahan dan dosa.
Al-Ghazali menanyakan imam yang ma’shum itu. Tidak ada pengikut batiniah
yang tahu di mana tempatnya dan kapan ia bisa ditemui. Al-Ghazali akhirnya
menyimpulkan bahwa imam ma’shum kaum batiniah itu hanyalah tokoh yang
ideal saja, hanya ada dalam anggapan, dan tidak ada dalam alam kenyataan.
Oleh karena belum puas dengan ketiga macam penyelidikan itu, Al-Ghazali
lalu meninggalkan kesibukan-kesibukan keduniaan dan mulai mengikuti aliran tasawuf.
Ia mengharapkan dalam gerakan tasawuf inilah ia mendapat hakikat
kebenaran yang dicari dan diselidikinya selama ini. Ia menghadapkan seluruh
hati dan kemauannya hanya kepada Tuhan semata-mata, dan menganggap sepi dunia
dengan segala godaannya.
Akhirnya ia merasa berhasil. Ia merasa dengan cara ini pikirannya menjadi
sangat jernih, dan dengan tasawuf, ia merasa dibukakan oleh Tuhan
sesuatu pengetahuan ajaib yang belum pernah dialami sebelumnya. Pengetahuan itu
dianggapnya sebagai rahasia hakikat kebenaran yang dicarinya selama ini.
Kemudian dari sinilah Al-Gazali menjadi salah satu tokoh yang bertentangan
dengan para filsuf. Hal itu terlihat dalam bukunya yang berjudul Tahafut
Al-Falasifah. Dalam bukunya ini Al-Gazali mencoba mengkrtitik pendapat para
filsuf. Dalam buku ini terdapat dua puluh tema penting yang dibicarakan oleh Al-Gazali,
yaitu;
1. Penolakan terhadap keyakinan
para filsuf akan eternalitas (azaliyah) alam
2. Penolakan terhadap keyakinan
para filsuf akan keabadian (abadiyyah) alam
3. Pernyataan para filsuf yang
tidak fair bahwa Tuhan adalah pencipta alam, dan bahwa alam itu adalah
produk ciptaan-Nya
4. Ketidakmampuan para filsuf
untuk mengafirmasi (tadlil) sang Pencipta
5. Ketidakmampuan para filsuf
untuk membuktikan imposibilitas adanya dua Tuhan melalui argumentasi rasional
6. Penolakan terhadap keyakinan
para filsuf tentang penafian sifat-sifat Tuhan
7. Penolakan terhadap teori para
filsuf bahwa zat Tuhan tidak bisa dibagi kedalam genus (jins) dan
diferensi (fashl)
8. Penolakan terhadap teori para
filsuf bahwa prinsip yang pertama (The First Principle) adalah suatu sederhana
yang total (basith bi la mahiyah)
9. Ketidakmampuan para filsuf
untuk menunjukkan bahwa prinsip yang pertama adalah bukan benda (jism)
10. Penjelasan bahwa pandangan
tentang masa dan penafian Pencipta lazim bagi para filsuf
11. Ketidakmampuan para filsuf
untuk menyatakan bahwa prinsip yang pertama mengetahui selain diri-Nya (ya’lam
ghyrahu)
12. Ketidakmampuan para filsuf
untuk menyatakan bahwa Dia mengetahui diri-Nya sendiri ( ya’lam dzatahu)
13. Penolakan terhadap ajaran
para filsuf bahwa prinsip yang pertama tidak mengetahui hal-hal pratikular (juz’iyyat)
14. Penolakan terhadap pandangan
para filsuf bahwa langit merupakan mahluk hidup
yang gerakan-gerakannya disengaja (bi al-iradah)
15. Penolakan terhadap ajaran
para filsuf tentang tujuan gerakan langit
16. Penolakan terhadap pandangan
para filsuf bahwa jiwa-jiwa langit mengetahui seluruh hal-hal partikular
17. Penolakan terhadap kenyakinan
para filsuf akan kemustahilan terjadinya hal-hal luar biasa (kharq al-adah)
18. Penolakan terhadap kenyakinan
para filsuf bahwa jiwa manusia adalah subtansi yang eksis dengan sendirinya,
dan bukan benda (jism) ataupun aksiden (‘aradh)
19. Penolakan terhadap keyakinan
para filsuf akan kemustahilan fananya jiwa-jiwa manusia
20. Penolakan terhadap
pengingkaran para filsuf akan kebangkitan jasmani yang akan diikuti perasaan
senang dan sakit di surga dan neraka, dengan kesenangan dan rasa sakit secara
fisik[2]
Tiga dari keduapuluh tema di atas,
menurut Al-Ghazali membawa kepada kekufuran, yaitu:
- Alam kekal dalam arti tak bermula
- Tuhan tak mengetahui perincin dari apa-apa yang terjadi di alam.
- Pembangkitan jasmani tak ada.
Penjelasannya
sebagai berikut. Menurut Bagi
Al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim, mustahil dapat dibayangkan
bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadim-nya alam
membawa kepada simpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan
Tuhan. Dan, ini berarti bertentangan dengan ajaran Alquran yang jelas
menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan
segala isinya). Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini
berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan
menciptakan alam, alam ada di samping adanya Tuhan. Sebaliknya, bagi para
filsuf Muslim, paham bahwa alam itu qadim sedikit pun tidak dipahami
mereka sebagai alam yang ada dengan sendirinya. Menurut mereka, alam itu qadim
justru karena Tuhan menciptakannya sejak azali qadim. Bagi mereka,
mustahil Tuhan ada sendiri tanpa mencipta pada awalnya, kemudian baru
menciptakan alam. Penjelasan yang kedua, menurut Al-Gazali mana mungkin Tuhan
tidak mengetahui hal-hal kecil yang ada di dunia ini. Alam beserta isinya
merupakan ciptaanya, jadi mana mungkin Tuhan tidak tahu apa-apa yang telah Ia
ciptakan. Penjelasan ketiga, menurut Al-Gazali sebagai seoarang muslim
seharusnya kita mengimani tentang pembangkitan jasmani. Agama telah mengajarkan
bahwa pada saat kebangkitan nanti jiwa kita akan dikembalikan kedalam tubuh.
Berarti mana mungkin tidak adanya kebangkitan jasmani, padahal sudah jelas hal
tersebut dalam agama Islam. Jadi menurut Al-Gazali orang-orang yang tidak
mengimani kebangkitan jasmani sama saja mereka bukanlah seorang muslim.[3]
2.3
Biografi Ibn Ruysd
Ibn Ruyd bernama lengkap Abu
Al-Walid Muhammmad bin Ahmad bin Rusyd. Di Eropa ia lebih dikenal dengan
sebutan Avveroes. Ia lahir dan dibesarkan di keluarga yang ahli fiqih. Ayahnya
seorang hakim, demikian juga kakeknya yang sangat terkenal sebagai ahli fiqih. Keluarganya
ini dikenal sebagai keluarga yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Ibn Ruysd belajar ilmu fiqih, ilmu pasti dan ilmu kedokteran di Sevilla
kemudian berhenti dan kembali ke Cordova untuk melakukan penelitian, membaca
buku-buku, dan menulis. Sejak usia remaja hingga dewasa, Ibn Ruysd memiliki
perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan, dia tidak pernah berhenti
belajar semenjak dai mampu untuk berfikir. Lebih dari 10.000 lembar kertas ia
habiskan untuk mencatat, meringkas buku-buku yang dibacanya dan menulis
makalah-makalah yang dikarangnya. Beliau sangat tertarik pada berbagai ilmu
pengetahuan kuno. Sebagai qadi al-qudaad, ia dekat dengan para amir
(penguasa) Dinasti Al Muwahhidun yang memerintah saat itu, khususnya dengan Abu
Yusuf Yakqub al Mansur, amir dinasti ketiga Muwahhidun.
Ibn Ruysd dikenal sebagai seorang tokoh yang menghargai Aristoteles
setinggi langit. Namun dalam penyusunan rumus kesimpulannnya Ibn Rusyd tidak
terikat pada rumusan aristoteles. Ia mengumukakan pendapat-pendapat atau
pahamnya sediri, sekali pun dalam hal itu dia tetap mengikuti jejak guru
pertama (Aristoteles). Pada awalnya Ibn Ruysd dikenal sebagai seorang ahli
fiqih. Di bidang ilmu fiqih ia berhasil meninggalkan warisan berupa buku yang
berjudul Bidayatul-Mujtahid wa Nihayatul-Muqthasid, dilihat dari bukunya ini
Ibn Rusyd terlihat memilki pemikiran tersendiri dibidang ilmu fiqih, sama
halnya di bidang filsafat dimana dia juga mempunyai pandangan dan aliran
tersendiri. Ibn Rusyd juga menulis buku tentang penyesuaian anatar agama dan filsafat.
Diantaranya adalah Kasyfu An Manahijil Adillah (Ungkapan tentang Metode
Pembuktian) dan Fashlul-Maqal Fima Bainal-Hikmah Wasyf-Syariah Minal-Ittishal
(Kata putus tentang Kaitan Antara Filsafat dan Syariat).Sedangkan pemikiran
filsafatnya dapat diketahui melalui bukunya yang sangat terkenal, Tahafut
At-Tahafut yang ditulis sebagai sanggahan terhadap buku Al-Gazali Tahafut
al-Falasifah.[4]
Pada
akhir hidupnya Ibn Ruysd mengalami cobaan yang berat. Para ahli fiqh yang
bekerja di Istana Khalifah memfitnahnya hingga Khalifah marah dan membuangnya
ke Alesana, sebuah kota dekat Cordova. Setelah bebas dari pembuangan ia pindah
ke Maroko, sampai wafat pada tahun 595 H.
2.4
Pemikiran Ibn Ruysd
Aliran filsafat Ibn Ruysd adalah
rasional. Ia menjunjung tinggi dan menghargai peranan akal, karena dengan akal
fikiran itulah manusia dapat menafsirkan alam wujud. Ibn Ruysd adalah seorang
filsuf muslim yang menggunakan akal dan pemikiran logis untuk menemukan suatu
kebenaran. Filsafat yang digunakan oleh Ibn Ruysd merupakan aktualisasi
filsafat Aristoteles. Yaitu pendekatan sifat rasional dan dialektikis dengan
menggunakan wahyu. Dalam bukunya Fashl al-Maqal, Ibn Ruysd menjelaskan bahwa
filsafat tidak bertentangan dengan wahyu. Bahkan filsafat dibutuhkan untuk
memahami makna tersembunyi dalam setiap ayat-ayat Al-quran, yaitu dengan
menggunakan al-itibar. Al-itibar adalah keraguan yang awalnya terjadi, dari
keraguan itu kemudian kita menyelami secara mendalam menuju kepastian atau
sesutau yang dianggap benar. Mendalami untuk kemudian muncul dengan pengalaman
dan pengetahuan yang baru.
Terlihat dari sini bahwa Ibn Ruysd
merupakan seorang filsuf yang tidak menjadikan dogma atau agama sebagai sesuatu
yang kaku dan tidak boleh di “sentuh”. Namun Ibn Ruysd menjadikannya sebagai
sebuah petunjuk yang terdiri dari symbol-simbol yang harus dicari mengenai
maksud dan makna yang terkandung dalam setiap ayatnya. Bagi Ibn Ruysad antara
akal dan wahyu dapat berjalan untuk salingg melengkapi, karena wahyu danya
dapat ditangkap menggunakan akal dan akal akan mecapai pencerahan dengan
menggunakan wahu. Hal ini dijelaskan oleh Ibn Ruysd dalam bukunya Fashl
al-Maqal.
Ibn Ruysd dapat berpendapat bahwa akal
dan wahyu bisa saling melengkapi hal tersebut didasari karena Ibn Ruysd
merupakan seorang faqih. Ia memahami dan menguasai hokum syariat dan fiqih
pemikiran Maliki sebagaimana yang ia tuangkan dalam bukunya Bidayat al-Mudjtahid.[5]
2.5
Al-Gazali
VS Ibn Ruysd
Pada
satu generasi Al-Gazali tampil dan mengkritik dengan dahsyat filsafat,
khususnya Neoplatonisme al-Farabi dan Ibn Sina. Sekalipun Al-Gazali menolak
filsafat, namun ia mempelajari dan menguasai filsafat secara dalam. Tujuan
Al-Gazali mengktirik filsafat adalah karena ia membela dan menggiatkan kembali
kajian keagamaan, terlihat dalam karya utamanya yang berjudul Ihya’’Ulum al-Din
(Menghidupkan kembali ilmu-ilmu Agama). Selain itu dalam bukunya yang berjudul
Tahafut al-Falasifah (Kekacauan para Filsuf), Gazali mencoba mengkritik para
filsuf karena terdorong oleh gejala berkecamuknya pikiran bebas waktu itu yang
banyak membuat orang-orang meninggalkan ibadah. Dalam banyak hal Al-Gazali
adalah penerus langsung peranaan Al-Asyari dengan metode yang ia pinjam dari
kaum Mu’tazilah ini Al-Gazali
berhasil mengkritik para filsuf. Semenjak itu pun dia diberi gelar “Hujjat
al-Islam: (Argumentasi Islam). Meski Al-Gazali dengan sepenuhnya membela agam,
tapi pembelaan itu dilakukan dengan memperkenalkan berbagai cara berpikir dan
metode yang saat itu dirasakan sebagai heterodoks dan bid’ah, karena menyalahi
tradisi pemikiran keagamaan yang dikenal. Penyelesaian yang ditawarkan
Al-Gazali begitu memukau dunia intelektual Islam, Al-Gazali sedemikian
detailnya member penyelesaian masalah-masalah keagamaan Islam, sehingga yang
terjadi adalah dia bagaikan telah menciptakan sebuah “kamar” untuk Ummat yang
walaupun sangat nyaman, tetapi kemudian mempunyai efek pemenjaraan kreatifitas
pemikiran Islam. Sejak itu ummat Islam terkukung dalam sel nyaman Gazaliisme.
Namun, tidak beberapa lama
sepeninggalnya Al-Gazali, di ujung barat Dunia Islam, di Kota Cordova, Spanyol,
muncul seorang yang dengan kemampuan intelektual luar biasa berusaha memecahkan
sel Gazaliisme. Dialah Ibn Ruysd, seorang ahli Aristoteles yang terkahir, dan
terbesar dalam Islam. dalam karyanya yang berjudul Tahafut al-Tahafut
(Kekacauan Buku Kekacauan), dengan cerdik dan tendensius Ibn Ruysd memberikan
balasan buku Al-Gazali yang mengkritik filsafat Ibn Sina.
Ibn Ruysd berusaha menjawab kritikan
Al-Gazali mengenai usaha Al-Gazali yang berusaha merobohkan dalil keharusan
sebab musabab bagi segala sesuatu. Melalui bukunya Ibn Rusyd menjawab:
‘Mengingkari sebab musaba yang dapat dilihat dalam segala kenyataan adalah
(sophisme) atau omong kosong”. Orang yang mengatakn hal tersebut mengingkari
apa yang dikatakan dalam hatinya, atau mengikuti omong kosong untuk meragukan
apa yang dihadapinya..” Ibn Ruysd kemudian membalikkan soal sebab-musabab
kepada empat sebab pokok sebagaimana yang dikatakan Aristoteles, yaitu;
Pertama, ‘Illah Maadiyyah (sebab musabab yang berkaitan dengan benda). Kedua,
‘Illah Shuwariyyah (sebab musabab dengan bentuk atau form). Ketiga, ‘Illah
Fa’illah (sebab musaba yang berkaitan dengan dayaguna). Keempat, ‘Illah
Gha’iyyah (sebab musabab yang berkaitan dengan tujuan). Menurut Ibn Ruysd
meniadakan semuannya itu berarti meniadakan dan menolak ilmu pengetahuan. Sebagai seorang yang berfikir rasional Ibn
Rusyd menafsirkan agama pun dengan penafsiran yang rasional. Namun ia tetap
berpegang pada sumber agama itu sendiri, yakni Al-quran. Dalam bukunya
Fashlul-Maqal Bainal-Himah wasy-Syariah ia berpendapat, bahwa mengenal Sang
Pencipta tidak mungkin berhasi kecuali dengan jalan melakukan pengamatan
terhadap alam wujud yang diciptakan Allah, untuk membuktikan tentang adanya
Sang Pencipta.
Ibn Ruysd juga menyayangkan sikap
Al-Gazali yang membawa permasalahan mengenai filsafat ini kepada kalangan awam,
karena menurut Ibn Ruysd manusia itu terbagi dalam tiga kategori, yaitu:
•
Ahl-khitab
(kaum retoris)
•
Ahl-jadal
(kaum dialektis sopis)
•
Ahl-burhan
(kaum rasional-demonstratif)
Dari ketiga kaum ini yang memiliki
kemampuan memahami filsafat adalah ahl-burhan, dan apabila Al-Gazali memberikan
persoalan ini kepada semua golongan maka akan terjadi kekacauan penafsiran dan
pendapat. Selain itu Al-Gazali juga memilki sebuah kelemahan dalam mengkritik
karena Al-Gazali mempelajari mengenai filsafat bukan dari sumber primer,
melainkan dia melakukan kritik melalui pemahaman yang terlah mengalami distorsi
oleh para penerjemah maupun para penulis Islam. Selain itu kritikan yang
dilontarkan oleh Al-Gazali juga tidak memilki landasan yang cukup kuat karena
Al-Gazali tidak menguasai ilmu hadist. Dengan begitu Ibn Ruysd berhasil
menyelamatkan filsafat dalam Islam yang nyaris mati dihantam pemikiran
Al-Gazali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar