Senin, 14 November 2011

Mengenal Hassan Hanafi dan Pemikiran Kiri Islam


oleh: Fadlan Hilmie S.Hum
2.1 Biografi Singkat Hassan Hanafi dan Latar Belakang Pemikirannya
Hassan Hanafi dilahirkan di Kairo, Mesir, pada 14 Februari 1934, seperti kebanyakan anak-anak mesir lainnya Hanafi muda sudah belajar almu-ilmu agama islam. Ketika masih duduk di madrasah tsanawiyah khalil agha dia sudah aktif dalam diskusi-diskusi Ikhwanul Muslimin, selain itu beliau juga mempelajari pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial. Hal inilah yang membuatnya tertarik untuk bergelut dengan aktivitas pemikiran dan intelektualitas. Pendidikan dasar hingga tingginya diselesaikan di tanah kelahirannya, dan gelar Doktor dia raih pada 1966 di Universitas Sorbonne, Paris, Prancis dengan disertasi setebal 900 halaman berjudul Essai Sur la Methode d'exegese (Essai tentang Metode Penafsiran). Karya tulis ini menjadi karya tulis terbaik di Mesir pada tahun 1961[1],
Karir akademiknya dimulai tahun 1967 ketika diangkat sebagia lektor, kemudian lektor kepala (1972), profesor filsafat (1980) pada jurusan filsafat Universitas Kairo dan diserahi jabatan sebagai ketua jurusan filsafat pada universitas yang sama. Selain aktif dalam dunia akademik, Hanafi juga aktif dalam organisasi ilmiah dan kemasyarakatan. Aktif sebagai sekretaris umum Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir, anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika dan wakil presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab.
Pendidikan yang beliau terima di Departemen Filsafat Universitas Kairo pada tahun 1952 mengantarkannya sebagai sarjana muda bidang filsafat. Studi filsafatnya semakin menemukan bentuknya ketika ia melanjutkan ke jenjang postgraduate di Universitas Sorbonne, paris, prancis, selama lebih kurang 10 tahun, yaitu tahun 1956-1966. Studinya di Prancis memberikan arah baru bagi pemikran kefilsafatannya, terutama pemantapan metodologisnya melalui kuliah maupun bacaan karya Orientalis.[2]
Iklim akademik di prancis pada saat itu cukup memberikan angin segar bagi munculnya berbagai pemikiran kritis kefilsafatan. Bahkan pada dekade tersebut, Prancis telah menancapakan dirinya sebagai wilayah bagi tumbuh suburnya pemikiran kefilsafatan, terutama kajian tentang strukturalisme.[3] Desertasi beliau yang berjudul  Essai Sur la Methode d'exegese (Essai tentang Metode Penafsiran) yang menjadi karya tulis terbaik di Mesir pada tahun 1961. Merupakan ikhtiar Hassan Hanafi dalam upayanya menghadapkan ilmu Ushul al-fiqh (Islamic Legal Theory) secara vis-a-vis dengan fenomenologi yang dirintis oleh edmund  Husserl.[4]
Banyak pakar menyebutkan bahwa karya hassan Hanafi tersebut merupakan suatu eksperimentasi yang menarik, karena relativitasnya sangat tinggi dari kebenaran, yang ditarik dari rangkaian fenomena dengan variasi tak berhingga, sehingga dapat diproyeksikan kepada ‘kepastian’ normatif yang berdimensi waktu abadi dari hukum agama, yang bertumpu pada ‘rasionalitas Tuhan’ (logos). Infinitas dari rangkaian fenomena kehidupan yang sama sekali tidak memiliki pretensi kelanngengan, diterapkan pada ketangguhan kerangka berpikir yang mendukung keabadian kitab suci Alquran. Ikhtiar ini-sekali pun terlihat utopis dan ambisius- merupakan tawaran menarik bagi ala pikiran kefilsafatan dunia Timur. Melalui elaborasi secara ketat, realitas sosial diuraikan untuk meneguhkan kebenaran agama. Sebuah eksperimen yang jarang dilakukan oleh pemikir di belahan dunia manapun. Pemikiran Hassan Hanafi pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari persinggungan dia dengan beberapa pemikir besar Prancis yang menjadi dosennya, seperti Jean Gitton, Paul Ricouer, dan juga Edmund Husserl[5]. Bahkan sepuluh tahun hidup (belajar) di Prancis adalah rentang waktu yang cukup lama untuk bisa memahami tradisi pemikiran Barat dengan baik, dimana pada saat itu ia begitu akrab dengan filsafat poststrukturalisme, fenomenologi dan juga eksistensialisme.[6]
Realitas sejarah ini menjadikan sosok Hanafi sebagai pemikir yang berpadu dua tradisi pemikiran, Barat dan Timur (Islam), antara tradisional dan modern. Melalui perpaduan dua perspektif ini, dia mencoba merespon basis sosialnya yang berupa kondisi obyektif dunia timur (Islam) yang penuh dengan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, dan kenyataan dunia Barat yang mendominasi, tidak hanya aspek politis, tetapi juga aspek pendidikan, ekonomi dan kultur yang menjadi ancaman eksternal bagi dunia Islam.[7]
Hassan Hanafi telah menulis 20 puluh buku dan puluhan makalah ilmiah selain desertasinya yang memperoleh penghargaan sebagai karya tulis terbaik mesir. Karya Hassan Hanafi yang lain diantaranya jurnal al-Yasar al-Islami (kiri islam) yang hanya terbit sekali pada tahun 1981 dan merupakan karya yang fenomenal sekaligus kontroversial, al-yasar al-Islami menyerukan kepada kebangkitan Islam dalam rangka menghadapi hegemoni Barat, sekaligus berupaya untuk menyadarkan umat Islam untuk perlunya mengadakan revolusi internal kedalam maupun eksternal.
Al-Yasar al-Islami merupakan lanjutan dari jurnal al-Urwa al-Wutsqa dan Al-Manar dilihat dari keterikatannya dengan agenda Islam al-Afghani: yaitu melawan kolonialisme dan keterbelakangan, menyerukan kebebasan dan keadilan sosial serta mempersatukan kaum Muslimin ke dalam blok Islam atau blok Timur. Kiri Islam merupakan penyempurnaan dari agenda modern Islam yang mengungkapkan realitas dan tendensi sosial politik kaum muslimin.[8]
Menurut Kazuo Shimogaki (1988:4) Hassan Hanafi memiliki tiga wajah dalam rangka memantapkan posisi pemikirannya dalam dunia Islam, terutama dalam kaitannya dengan Kiri Islam yaitu:
Wajah pertama, adalah peranannya sebagai seorang pemikir Revolusioner. Segera setelah revolusi Iran menang, ia meluncurkan Kiri Islam. Salah satu tugasnya adalah untuk mencapai Revolusi Tauhid (keesaan, pengesaan: konsep inti dalam pandangan dunia Islam).dalam hal ini, ia dapat dikategorikan sebagai pemikir Islam revolusioner, seperti Ali Syariati, pemikir yang menjadi tulang punggung revolusi Islam Iran dan Imam Khomeini yang memimpin revolusi dengan sukses.
Wajah kedua adalah sebagai seorang reformis tradisi intelektual Islam klasik. Dalam hal ini, ia mirip posisi Muhammad Abduh (seorang pemikir Mesir terkemuka, 1849-1905). Sebagai seorang reformis tradisi Islam Hassan Hanafi adalah seorang rasionalis sebagaimana Abduh.
Wajah ketiga adalah penerus gerakan al-Afghani (1838-1896). Al-Afghani adalah pendiri gerakan Islam  modern, yang disebut sebagai perjuangan melawan imprealisme kultural Barat dan penyatuan dunia Islam.
 Disamping karya Kiri Islam, ia juga menerbitkan karya ilmiah yang berjudul al-Turats wa Tajdid yang memberikan penekanan pada pentingnya tradisi dan pembaruan.[9] Dalam upaya membebaskan dunia Timur (Islam) dari pengaruh Barat, sehingga tercipta kesetaraan antara al-ana yakni dunia Timur dan al-akhar yakni dunia Eropa atau Barat serta karya mengenai oksidentalisme yang berjudul Muqaddimah fi 'Ilmi Istighrab yang mengajak umat Islam mengkritisi hegemoni kultural, politik, dan ekonomi Barat, yang dikemas di balik kajian orientalisme. Bahkan melalui studi oksidentalisme-nya, Hanafi berusaha ‘menelanjangi’ sekaligus membongkar hegemoni barat atas dunia Islam. Pembongkaran atas dominasi Barat tersebut tidak dilakukan secara sosiologis, melainkan filosofis, terutama melalui penelusuran basis epistemologi munculnya kesadaran Eropa (Barat) yang telah melahirkan sikap superioritas Barat atas dunia Timur.  [10] Meskipun ia menolak dan mengkritik Barat, tetapi tidak pelak lagi, ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah mempengaruhi pemikirannya. Maka ia tergolong seorang modernis-liberal seperti Luthfi al-Sayyid, Taha Husein dan al-Aqqad.[11]
2.2  Pengertian Kiri Islam
Sebelum kita masuk ke pembahasan tentang arti terminologi Kiri Islam, terlebih dahulu kita harus mengetahui makna epistemologi kiri itu sendiri, pengambilan istilah ‘Kiri’ bermakna pengambilan bentuk perlawanan terhadap pihak yang bersinggungan yaitu kanan. Dalam arti lain kata kiri disini adalah oposisi dari kanan. Kata kiri selalu lekat dengan identitas sosialisme, marxisme, dan komunisme. Identitas tersebut lebih condong kepada pemikiran dan gerakan sosial yang timbul karena pemikiran karl marx, yang kemudian dibakukan oleh fredrich engels menjadi Marxisme.[12] sebuah ideologi perlawanan yang mengambil bentuk Revolusi. Akan tetapi makna kata ‘Kiri’ yang identik dengan istilah marxisme itu tidak sepenuhnya benar, kata kiri bisa berarti lebih dari satu tafsiran. Bisa juga berarti penyeimbang dengan kanan. Dimana kiri selalu memberikan perbedaan yang mendasar dari segi pemikiran dan gerakan. Kata Kiri juga bisa berarti penolakan terhadap mainstream yang ada dan mendominasi, bisa juga berarti minoritas dari mayoritas. Namun pada intinya kata ‘Kiri’ adalah sebuah nama yang tercipta karena situasi sosial, politik, dan kebudayaan.
Wacana pemikian ‘Kiri’ adalah pemikiran dan gerakan sosial yang senantiasa melawan, mengkritik, dan memang terkadang amat ‘nakal’ untuk menghancurkan segala hal yang berbau estabilishment, terutama kemapanan kekuasaan otoriter dan juga kapitalisme modern. Bisa jadi kemapanan (termasuk kemapanan ilmu pengetahuan) memuat seperangkat prinsip yang manipulatif untuk sekedar mempertahankan kemapanan tersebut. Pembongkaran atas situasi ‘mapan’ dari sebuah kekuasaan inilah yang menjadi spirit ilmiah gerakan ‘kiri’, terutama pembongkaran atas berbagai kekuasaan yang berlindung dibalik jubah ideologi-ideologi.[13]
Dalam perspektif epistemologi, pemikiran dan gerakan ‘kiri’ sesungguhnya lebih diletakkan pada pembacaan ulang secara kritis atas berbagai bentuk pengetahuan yang dominan, yang kemudian diberlakukan sebagai kebenaran satu-satunya. Ketika sebuah pengetahuan ditampilkan sebagai sebuah kebenaran utama, maka ia cenderung dinomorsatukan sebagai kemapanan formal. Pada saat yang bersamaan, ia akan meminggirkan realitas kebenaran yang lain. Setiap yang berebeda dengan pemahaman konstruksi pemikirannya merupakan sebuah kesalahan.[14]
            Pengambilan kata Kiri Islam oleh Hanafi dimaksudkan sebagai media perlawanan dan kritik atas tekanan dari Barat. Tekanan dari Barat, seperti kita ketahui telah mengambil bentuk penjajahan dan perampasan hak-hak umat Islam. Penjajahan yang dilakukan Barat terhadap Islam membuat tekanan psikologis yang sangat dalam, literatur sejarah mencatat ketika bangsa barat masih terjebak dalam masa kegelapan, Islam telah berjaya dengan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan. Bahkan Islam turut memberikan andil penting terhadap kemajuan dunia barat dengan menghidupkan kembali filsafat yunani yang pada saat itu di barat, merupakan hal yang  bertentangan dengan  dogmatisme Gereja, sehingga banyak ilmuwan Barat yang belajar dengan ilmuwan muslim. Namun realitas saat ini berbalik tiga ratus enam puluh derajat, bangsa barat mendominasi ilmu pengetahuan bahkan turut menjajah umat Islam, hal inilah yang membuat hanafi berpikir untuk merevivalisasi kembali semangat umat islam dengan pemikiran Kiri Islamnya karena bagi Hanafi penjajahan barat terhadap dunia Timur (Islam) merupakan sebuah kejahatan yang sangat besar.[15]
Penamaan kiri kiri Islam selain itu menurut hassan Hanafi dimunculkan secara spontan. Nama itu menggambarkan arus yang berkembang dalam esai-esai ini. Ia adalah nama ilmiah, sebuah istilah ilmu politik yang berarti resisitensi dan kritisisme dan menjelaskan jarak antara realitas dan kritisme dan menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas. Ia juga terminologi ilmu-ilmu kemanusiaan secara umum. Misalnya terdapat kiri Freud dalam psikologi, kiri hegel dalam filsafat, dan kiri keagamaan dalam ilmu sejarah agama-agama. Jelas ia adalah istilah akademik tanpa pretensi politik dalam arti ideologi partai atau mobilisasi massa. Penamaan itu pun setelah melihat realitas umat Islam yang kehidupannya terpilah antara penguasa dan yang dikuasai, pemimpin dan rakyat, kaya dan miskin. Kiri Islam berada dalam barisan orang-orang yang dikuasai, yang tertindas, kaum miskin. Dengan demikian ia mereflesikan Kiri dalam kondisi akademik.[16] Tidak adanya pretensi politik disini menegaskan bahwa Kiri Islam tidak ada hubungannya dengan faham marxisme, namun dalam tujuannya ada satu kesamaan yaitu sama-sama berusaha untuk melawan penindasan.
2.3  Latar Belakang Kiri Islam
 Kiri Islam lahir setelah berbagai metode pembaruan masyarakat kita dalam beberapa generasi hanya menghasilkan keberhasilan yang relatif, bahkan untuk sebagiannya gagal, terutama dalam masalah keterbelakangan. Yang disebabkan karena,
1.      Berbagai tendensi keagamaan yang terkooptasi kekuasaan menjadikan Islam hanya sekedar ritus dan kepercayaan-kepercayaan ukhrawi. Sedangkan tendensi yang tidak terkooptasi, terjebak dalam fanatisme primordial, kejumudan, dan berorientasi kekuasaan.
2.      Liberalisme yang pernah berkuasa sebelum masa-masa revolusi yang terakhir, ternyata didikte oleh kebudayaan barat, berperilaku seperti penguasa kolonial dan hanya melayani kelas-kelas elite yang menguasai aset negara. Sementara mayoritas rakyat ditempatkan di luar lapangan permaianan, yang hanya tampak dalam kerja-kerja revolusi.
3.      Marxisme yang berpretensi mewujudkan keadilan sosial dan menentang kolonialisme ternyata tidak diikuti dengan pembebasan rakyat dan pengembangan khazanah mereka sebagai energi untuk mewujudkna tujuan-tujuan kemerdekaan nasional.
4.      Nasionalisme revolusioner yang berhasil melakukan perubahan-perubahan radikal dalam sistem politik dan ekonomi ternyata tidak berumur lama, banyak mengandung kontradiksi dan tidak mempengaruhi kesadaran mayoritas rakyat, ia berhenti hanya sebagai slogan. Kiri Islam lahir dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan pergerakan nasional dan prinsip-prinsip revolusi sosialis.


Kiri Islam menurut Hanafi juga mendapat inspirasi dari keberhasilan revolusi Islam akbar Iran yang mengejutkan dunia. Dimana rakyat muslim tegak kokoh melawan tekanan militer dan menumbangkan rezim syah atas nama “Islam” dan “kekuatan Allah Maha Besar”, penumpas kaum otoriter”. Revolusi ini dapat disejajarkan  dengan dua revolusi besar lain, revolusi Prancis dan Bolsevijk, serta menjadi satu model bagi revolusi keyakinan pada akhir abad XIV H. Kiri Islam juga merupakan resultan dari gerakan-gerakan kaum muslimin di Afghanistan, Melayu, Filipina, Pakistan, dan revolusi Aljazair untuk memunculkan Islam sebagai khazanah nasional, yang memelihara otentisitas, dan kreatifitas kaum muslimin, memperjuangkan kepentingan mereka dan mendinamisasi rakyat muslim di setiap tempat[17]. Dari beberapa latar belakang tersebut, saya melihat bahwa tampaknya Hassan Hanafi mencoba untuk merekonstruksi kembali pemikiran umat Islam melalui pemikiran kiri Islamnya.
Pertama adalah kritiknya atas tendensi umat Islam yang hanya berorientasi kepada tujuan ukhrawi, dan kekuasaan. Dalam hal ini pemikiran teologi al-Asy’ari dan tasawufnya yang dikembangkan oleh al-Ghazali sangat dia tentang, karena pada intinya teologi ini cenderung membuat umat Islam pasrah terhadap realitas yang menimpa mereka dan lebih memilih untuk beribadah memikirkan kehidupan akhirat. Disamping itu kecenderungan lainnya yaitu kepasrahan tersebut digunakan untuk mempertahankan kekuasaan tertentu.
Kedua Hanafi tampaknya ingin memperlihatkan bahwa Liberalisme dari Barat memiliki sisi buruk terhadap Islam, hanya melayani kepentingan kolonial dan kalangan elite serta hanya melibatkan rakyat dalam proses produksi tanpa adanya pemerataan kesejahteraan. Kritik Hanafi terhadap Liberalisme tersebut didasari pada kecenderungan penelitiannya terhadap barat, selain sebagai seorang pemikir modernis Islam  Hanafi juga dikenal sebagai tokoh oksidentalisme yang meneliti barat. Bahkan dalam karya monumentalnya yang berjudul Muqaddimah fi 'Ilmi Istighrab, mengajak umat Islam mengkritisi hegemoni kultural, politik, dan ekonomi Barat, yang dikemas di balik kajian orientalisme.
Ketiga kritiknya terhadap marxisme, menurutnya marxisme yang dicetuskan oleh Karl Marx hanya menajnjikan keadilan sosial, namun mengkebiri kebebasan rakyat dan tidak diikuti oleh pengembangan khazanah kerakyatan, hal yang membuat sulit untuk mewujudkan tujuan-tujuan nasional, situasi yang memang tampak di negara-negara sosialis pada saat itu.
Keempat Hanafi juga mengkritik nasionalisme yang pada saat itu berkembang di Mesir, semangat yang didengungkan oleh Ghamal Abdul Nasser yang ujungnya hanya menimbulkan kontradiksi dan polemik didalam situasi politik Mesir itu sendiri. Kemudian hanya menjadi sekedar slogan maka tercetuslah pemikiran Kiri Islam yang menurutnya merupakan realisasi  tujuan-tujuan pergerakan nasional dan prinsip-prinsip revolusi sosialis.
Dan terakhir latar belakang terlahirnya Kiri Islam adalah munculnya Revolusi Islam di Iran yang berhasil menggulingkan Syah dan mengganti sistem pemerintahan dari sistem monarki menjadi teokrasi. Jurnal Kiri Islam pun muncul beberapa saat setelah keberhasilan Revolusi Islam tersebut, tampaknya Hanafi ingin memanfaatkan situasi politik yang ada pada saat itu dan mengambil momentum untuk menyebarkan gagasannya.
Pada intinya latar belakang pemikiran Kiri Islam secara umum adalah realitas umat Islam yang berada dalam keterbelakangan dan ketertinggalan diberbagai aspek terhadap Barat. Kiri Islam hadir sebagai solusi yang kritis dalam menyikapi realitas tersebut. Jurnal kiri Islam hadir untuk memberikan pencerahan dan penyadaran kepada umat Islam diseluruh dunia.



[1] Abdurrahman Wahid, 1993, “Hassan Hanafi dan Eksprementasinya”, pengantar dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi : xi
            [2] Hassan Hanafi, 1987,  3.
[3] Listiyono Santoso, dkk, “Seri Pemikiran Tokoh Epistemologi Kiri”, 268.
[4] Wahid, op.cit., xi.
[5] John L. Esposito, 1995:98
[6]Ruswantoro, dalam Dahlan (ed). 2001: 54.
[7] Santoso, dkk. op.cit., hal.269
[8] Hassan Hanafi dalam Kazuo Shimogaki, op.cit., hal.85.
[9]komarudin Hidayat, 2000: xviii.
 [10] Listiyono Santoso, dkk. op.cit., hal.265.
                [11] “liberal Modernis” dalam dunia Arab-Islam tidak dapat diartikan semata-mata bahwa mereka Liberal-Modernis Barat. Latar belakang mereka Islam, dengan demikian mereka Liberal-Modernis Islam. Lihat Hanafi dalam Kazuo Shimogaki, op.cit. hal.3
[12]Para pengagum Karl Marx menyebut diri mereka sebagai kaum Marxis Sosialis, yaitu gerakan perlawanan kaum proletar seperti buruh dan petani terhadap para tuan tanah, kaum feodalis, dan kapitalis.
[13] Listiyono Santoso, dkk., op.cit., hal.17.
[14] Ibid.

[15] Hassan Hanafi dalam Kazuo Shimogaki, op.cit., hal.35.
[16] Ibid.,  hal.88.
[17] Hassan Hanafi dalam Kazuo Shimogaki, op.cit., hal.91-92

2 komentar: